Rabu, 15 April 2020

Budaya Literasi dari Spanduk

Jember sedang menggalakkan budaya literasi. Jadi budaya literasi yang belum pernah terbentuk mau digalakkan alias dibuat menjadi galak.

Aksi penggalakan Budaya Literasi di Jember sudah dilakukan dengan aksi nyata oleh pemerintah, yaitu dengan cara yang paling praktis yaitu: MEMASANG SPANDUK.

Di spanduk-spanduk yang berisi ajakan untuk menumbuhkan budaya literasi terdapat tulisan yang agak panjang. Jadi dianggap membaca tulisan di spanduk sudah menumbuhkan budaya literasi. Hahaha.

Budaya literasi adalah budaya yang bepedoman pada literatur. Bukan sekadar membaca tetapi juga menulis. Bukan sekadar membaca tetapi juga harus membaca dengan dengan pemahaman.

Intnya harus mengharagai tulisan. Lalu bagaimana dengan Jember. Dengan asal usulnya saja masih gamang bahkan tidak terliterasi dengan baik.

Selama ini tanggal lahir Jember menyesuaikan dengan surat penetapan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Dapar dikatakan sampai sekarang Jember masih menggunakan loguka orang Jajahan, inlander.

Seharusnya Jember mebata ulang sejarah asal-usulnya. Dikaitkan dengan peristiwa sejarah yang lebuh besar misalnya. Atau ditelaah dari kerajaan kecil (negara bagian) di masa Majapahit. Tentu juga bisa dilakukan.

Itu bagian dari kerja literasi. Juga bagian dari budaya literasi.

Selanjutnya berkaitan dengan kegiatan masa kini. Jember disebut-sebut sebagai kota tervesar ketiga di Jawa Timur. Entah apa yang digunakan sebagai dasar pemeringkatan tersebut.

Jember memang layak disebut sebagai kota pelajar mengingat jumlah sekolah dan perguruan tinggi yang ada kabupaten Jember tidak dapat dihitung dengan jari. Ada tiga kampus negeri. Dan banyak lagi kampus swasta.

Kompleks perguruan tinggi Kabupaten Jember ada di Kecamatan Sumbersari. Ada 6 kampus yang berdekatan. Kelima kampus tersebut adalah Universitas Jember, IKIP PGRI Jember, Politeknik Negeri Jember, Universtias Terbuka, dan Universitas Muhammadiyah Jember, serta Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Mandala.

Kampus perguruan tinggi berkorelasi dengan adanya mahasiswa yang banyak. Dapat dikatakan pula bahwa, kaum intelektual yang banyak. Kaum intelektual ini yang berkait erat dengan budaya literasi. Namun yang terjadi dan ada di sekitar kampus tersebut sama sekali tidak menunjukkan adanya budaya literasi.

Alih-alih adanya penerbit yang bonafit di Jember, yang ada justru kafe dengan berbagai macam konsepnya. Jangankan toko penerbit, toko buku pun tak ada di sekitar kampus. Memang di Jember dua toko buku jaringan nasinal yaitu Gramedia dan Togamas. Tetapi letaknya cukup jauh dari kawasan kampus.

Yang lebih miris lagi, dulu pada 2009 Toko buku Togamas ada di kompleks kampus Universitas Jember, tetapi kemudian pibdah menjauh dari sarang para 'intelektual' ini. Hal ini dapat dimaknai sebagai rendahnya minat baca kaum 'intelektual' di Jember.

Upaya membudayakan luterasi di Jember masih jauh panggang dari api. Jika sebatas pada slogan dan kegiatan sporadis, api akan selalu jauh dari panggang.

Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap beliau-beliau yang sudah lama mendedikasikan diri terhadap budaya literasi di Jember, dapat dikatan bahwa budaya literasi di Kabupaten Pandhalungan ini masih sangat rendah.

Upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah antara lain dengan memanfaatkan nilai-nilai lokalitas yang ada di Jember.

Misalnya diselenggarakan lomba menulis cerita rakyat Jember. Atau lomba dikumentasi cerita asal-asul wilayah (kabupaten, kecamatan, desa, atau bahkan dusun, serta tempat lainnya). Kalau sebatas lomba dan mendapat hadiah, maka selesai sampai di situ.

Agar menjadi gerakan literasi maka perlu dilakukan tindak lanjut. Misalnya hasil karya peserta lomba tersebut dibukukan menjadi sebuah buku yang diproduksi secara profesional dan lebih menarik lagi.

Hasil karya literasi tersebut kemudian dapat direproduksi menjadi tayangan visual yang menarik. Jember sudah terkenal melalui karya visualnya yaitu: JFC. Bukan tidak mungkin karya visual lain dapat berkembang pula.

Karya visual lain yang bersumber dari literatur lokal misalnya dapat berupa film pendek. Sumber daya produksinya tersedia. Kampus-kpus di Jember memiliki jurusan perfileman. Kelompok teater mulai SMA hingga masing-masing fakultas di Kampus juga eksis. Mereka (para pemain teater dan mahasiswa jurusan perfileman) tentu bisa memproduksi film.

Distribusi film yang bersumber dari literatur lokal tersebut dapat disiarkan melalui jaringan televisi lokal di Jember. Agar tidak banyuwangian tok.

Tentu semua itu dapat terwujud jika pemerintah kabupaten Jember bersungguh-sungguh menumbuhkan budaya literasi di Jember. Kalau sebatas sebagai gincu, cukup spanduk-spanduk besar bertuliskan: Mari Galakkan Budaya Literasi di Jember.